Penulis Ustadz Ammi Nur Baits, S.T., B.A.
Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, wa ba’du,
Setelah kita memahami bahwa ketersediaan dalil bisa menjawab semua permasalahan umat, lalu bagaimana metode mereka untuk melakukan itu?
Bagian ini bisa disebut membongkar rahasia perusahaan. Karena masing-masing ulama memiliki pendekatan yang berbeda-beda dalam memahami kasus. Karena itu, ketika kita membaca literatur mereka, umumnya kita hanya menjumpai pernyataan mereka, tanpa ada penjelasan bagaimana mereka bisa mendapatkan kesimpulan itu.
Diantara metode yang sering diterapkan adalah analogi kasus. Ada beberapa kasus transaksi jual beli yang terjadi di masa silam, kemudian ada dalil yang menjelaskannya. Dalam kajian ushul fiqh, ini disebut kasus induk (al-Ashl). Sementara kasus yang terjadi di masa sekarang didekatkan kepada kasus induk, sehingga hukumnya bisa disamakan. Kasus baru di masa sekarang disebut dengan kasus cabang (al-Furu’).
Ketika analogi itu benar, memenuhi kriteria menyamakan yang sama dan membedakan yang beda, maka hukum kasus kedua, yang merupakan kasus cabang akan menjadi benar. Sebaliknya, ketika analogi itu salah, tentu saja hukumnya untuk kasus kedua tidak dibenarkan.
Metode ini – dalam kajian ushul fiqh – disebut dengan qiyas. Bahasa sederhana di tempat kita adalah analogi kasus. Prinsipnya adalah bahwa betul kasus itu berkembang, namun jenis kasus terbatas. Kasus yang jumlahnya banyak, dikelompokkan menjadi satu sesuai jenisnya, kemudian didekati dengan hukum untuk jenis kasus tersebut. Kata orang, sejarah itu berulang. Hanya aktor dan latarnya yang ganti.
Nah… secara umum, ada beberapa tahapan yang dilakukan untuk bisa menerapkan metode ini dalam memecahkan kasus kontemporer,
Pertama, tahap tashawwur
Terdapat kaidah yang sangat terkenal,
الحكم على الشيء فرع عن تصوره
Hukum terhadap suatu kasus, adalah bagian dari bagaimana orang memahami kasus. (Majmu’ Fatawa, 6/295)
Karena itu, salah satu penyebab perbedaan pendapat ulama dalam menilai kasus, terkadang berangkat dari perbedaan mereka dalam memahami kasus.
Tashawwur yang dimaksud adalah memahami kasus sesuai kondisi riilnya, dan selanjutnya akan digunakan pendekatan fiqh untuk memahaminya.
Di posisi ini, para ulama akan menggali informasi selengkap-lengkapnya mengenai kasus yang akan dia bahas. Bisa dengan bertanya kepada pelaku atau siapapun yang berkepentingan dengan kasus itu.
Jika anda bertanya tentang e-money misalnya, maka sebelum sang ustad menjawab, beliau akan mencari tahu mengenai e-money, meskipun beliau sendiri tidak pernah menggunakan e-money. Sebagaimana ketika anda bertanya tentang hukum KPR, maka sang Ustad akan mencari info mengenai skema akad KPR, meskipun sang ustad bisa jadi sama sekali tidak pernah bersentuhan dengan akad KPR. Artinya, untuk memberi fatwa, tidak harus menjadi pelaku terlebih dahulu.
Kedua, tahap takyif Fiqh
Setelah mereka memahami kasus berdasarkan data yang ada, tahap berikutnya adalah mencari pendekatan fiqh yang paling tepat untuk kasus tersebut. Para ulama akan mencari bentuk akad apa yang paling cocok untuk kasus ini. Dan bisa jadi ada banyak kemungkinan pendekatan atau beberapa kemungkinan akad dalam hal ini.
itulah yang disebut takyif Fiqh. Pendekatan fiqhiyah setelah memahami kasus, untuk dicari hukumnya.
Sebagai contoh,
Setelah sang ustad memahami hakekat dari e-money, beliau akan membuat beberapa kemungkinan pendekatan. Misalnya,
Kemungkinan pertama, e-money adalah akad utang piutang, sehingga ketika pengguna melakukan top up deposit, hakekatnya memberi utang kepada penyedia layanan e-money. Konsekuensinya, tidak boleh ada diskon bagi pengguna e-money, karena termasuk manfaat dari utang, dan itu riba.
Kemungkinan kedua, e-money adalah akad sharf (tukar menukar uang dengan uang), sehingga ketika pengguna melakukan top up deposit, hakekatnya sedang menukarkan uang kartal dengan uang digital. Konsekuensinya, adanya diskon untuk pengguna e-money bukan termasuk riba..
Dst.. ini hanya sekedar contoh.
Ketiga, tahap takhrij Fiqh
Pada tahap ini, akan dilakukan pemilihan pendekatan fiqh yang paling memungkinkan. Dengan menimbang semua konsekuensi yang berlaku dalam kasus tersebut.
Tahapan inilah yang paling menentukan, karena diperlukan kejelian untuk memutuskan takyif fiqh yang paling memungkinkan. Sehingga, hasil fatwa sangat bergantung kepadanya.
Sebagai contoh,
Setelah ustad menyebutkan beberapa kemungkinan akad, selanjutnya sang ustad akan menentukan, akad yang paling menentukan.
Di atas telah disebutkan 2 kemungkinan untuk kasus e-money, yaitu utang dan sharf.
Setelah diperhatikan, nampaknya jika dipahami sebagai utang tidak memungkinkan. Dengan pertimbangan, utang itu dilakukan atas dasar membantu menutupi kebutuhan orang lain. Sementara yang terjadi di sini lebih kepada masalah layanan.
Sehingga yang lebih mendekati adalah sharf, dimana penyedia e-money menyediakan layanan penukaran uang kartal ke uang digital, untuk bisa dimanfaatkan dalam transaksi tertentu.
Keempat, tahap kesimpulan hukum dan penjelasannya
Setelah dilakukan takhrij dan ditetapkan takyif fiqh yang paling memungkinkan, selanjutnya disampaikan kesimpulan hukumnya dan berikut penjelasan konsekuensinya.
Dari contoh di atas, setelah disimpulkan bahwa akad e-money adalah sharf, selanjutnya ustad akan menjelaskan aturan apa saja yang berlaku dalam sharf. Termasuk penjelasan konsekuensinya, misalnya, bagaimana jika harga beli kartu berbeda dengan saldo yang tertera di kartu. Beli kartu 70rb, isi saldo kartu 50rb? Bagaimana pula jika ada diskon bagi pengguna e-money di tol atau merchant lainnya? dst..
Anda bisa perhatikan, untuk bisa menyimpulkan hukum, mereka tidak bisa seketika. Butuh waktu, tenaga pikir, untuk bisa melakukannya. Sehingga, jika anda bertanya dan minta jawaban instan, jelas sangat menjadi beban mereka.
Semoga Allah melimpahkan taufiq dan hidayahnya kepada para ulama dalam menyelesaikan masalah umat. Dan semoga Allah memberikan kekuatan bagi kita untuk istiqamah.
Demikian Allahu a’lam